Orang yang Waswas dan Ketaatan Terhadap Syaitan
ORANG YANG WASWAS DAN KETAATAN TERHADAP SYAITAN
Oleh
Syaikh Ahmad bin Salim Ba Duwailan
Kemudian, sekelompok orang yang waswas benar-benar telah mentaati syaitan sehingga bersifat dengan waswas dari syaitan itu, menerima perkataan syaitan dan mentaatinya, dan enggan berittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalannya, hingga salah seorang dari mereka apabila berwudhu’ atau shalat sebagaimana wudhu’ dan shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka wudhu’nya dianggap batal dan shalatnya tidak sah. Dia memandang bila dia melakukannya sebagaimana perlakuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya dalam memberikan makan pada anak-anak kecil, atau memakan makanan umumnya kaum muslimin, maka itu semua bisa teranggap najis, wajib atasnya mencuci tujuh kali tangan dan mulutnya, seperti layaknya apabila seekor anjing menjilat tangan dan mulutnya atau seekor kucing mengencinginya. Demikianlah, penguasaan iblis terhadap mereka, mereka mentaatinya hingga seperti orang gila, dan mendekati madzhab kaum Sufisthaiyyah yang mengingkari hakikat wujud dan hal-hal yang terindera. Sedangkan pengetahuan seorang manusia akan dirinya sendiri adalah termasuk perkara yang dharuri dan yakin, tetapi mereka ini ada yang mencuci lengannya, dan dia saksikan hal itu dengan pandangannya (sendiri), kemudian takbir, membaca dengan lisannya, kedua telinganya pun mendengarkannya dan hatinya pun mengetahui, bahkan orang lain juga tahu (apa yang dilakukannya) dan yakin, (tetapi) kemudian dia ragu, apakah dia sudah melakukan hal itu atau belum?? Demikian juga syaitan memberikan keraguan pada niat dan maksudnya yang diketahui oleh dirinya sendiri dengan yakin, bahkan orang lain juga mengetahui dengan adanya indikasi, dari perbuatannya. Tetapi meski demikian dia menerima saja apa kata iblis bahwa dirinya tidak berniat dan belum bermaksud untuk melakukan shalat, mengingkari apa yang dilihatnya dan menolak keyakinannya sendiri. Sehingga engkau akan melihatnya ragu dan bingung, seakan dia melakukan sesuatu yang harus ia tarik, atau mendapatkan sesuatu dibatinnya yang akan dia keluarkan. Itu semua adalah karena berlebihan dalam mentaati iblis, menerima waswas darinya. Dan barangsiapa yang ketaatannya kepada iblis telah sampai seperti ini, maka dia telah sampai ke puncak ketaatan kepadanya.
Juga berarti dia menerima kata-kata iblis untuk menyiksa dirinya sendiri, mentaatinya untuk memberikan mudharat pada tubuhnya, sesekali dengan mencelupkan diri ke dalam air yang dingin, di lain waktu dengan menggunakan banyak air, melebihkan dalam menggosok-gosok, dan mungkin juga dengan membuka kedua matanya pada air yang dingin, dan membasuh bagian dalamnya sampai membahayakan penglihatannya, atau sampai mengakibatkan dia membuka auratnya di hadapan manusia, atau sampai pada keadaan yang menjadi bahan tertawaan anak-anak kecil, dan orang yang menyaksikannya pun akan menghinanya.
Aku katakan, berkata Abul Faraj Ibnul Jauzi, dari Abul Wafa bin ‘Uqail : Bahwa seorang lelaki berkata kepadanya, “(Aku) mencebur ke air berkali-kali, dan (aku) masih ragu, sahkah mandiku atau tidak? Bagaimana pendapatmu tentang hal itu?” Maka syaikh berkata kepadanya, “Pergilah, telah gugur darimu kewajiban shalat!” Dia berkata, “Bagaimana bisa?” Maka syaikh berkata kepadanya, ‘Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: اَلْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ، اَلنَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَالصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ
“Telah diangkat qalam (catatan dosa) dari tiga golongan, orang yang gila hingga ia sembuh, orang yang tidur hingga ia bangun, dan anak kecil hingga ia baligh. ”
“Dan barangsiapa yang menceburkan diri ke air berkali-kali kemudian masih ragu apakah air telah sampai kepadanya atau belum, maka dia adalah orang gila.”
Dia (Abul Wafa’) berkata, “Dan mungkin saja waswasnya itu menyibukkan dirinya, sehingga dia tertinggal dari jama’ah, atau terluput dari waktu shalat, kemudian waswasnya dalam niat menyibukkannya sehingga dia ketinggalan takbiratul ihram, atau bahkan kehilangan satu rakaat atau lebih. Dan di antara mereka ada yang menyatakan bahwa dia tidak akan mungkin (berbuat) melebihi hal tersebut, sebenarnya ia hanya berdusta. ”
Saya (Ibnul Qayyim) berkata : Aku mendapatkan cerita dari orang yang aku percayai, tentang seorang yang sudah parah dalam waswas, aku benar-benar melihatnya mengulang-ulang niat, banyak sekali, dan hal itu membuat makmum sangat terganggu, maka kemudian diminta kepadanya untuk bersumpah cerai, yaitu dengan cara dia tidak melebihi pengulangannya pada saat itu, tetapi iblis tidak meninggalkannya, maka dia pun mengulanginya, maka dipisahkanlah antara dia dan isterinya, kemudian hal itu menjadikannya sangat bingung, keduanya berpisah untuk waktu yang lama, sampai akhirnya isterinya menikah dengan lelaki lain dan melahirkan darinya seorang anak, kemudian orang itu melanggar sumpahnya terhadap isterinya, maka dipisahkanlah antara wanita itu dengan suami keduanya dan kemudian kembali ke suami pertamanya, setelah suami pertamanya ini hampir hancur karena berpisah dengan isterinya.
Ada cerita orang lain yang juga sampai kepadaku (Ibnul Qayyim), tentang seorang yang sangat memberatkan diri (memfasihkan ucapan) dalam melafazhkan niat, dia mengucapkannya dari dalam kerongkongannya. Suatu hari sikap berlebihannya ini menjadi parah, sampai dia mengatakan, “Ushalli, ushalli, shalata kadza wa kadza” (aku niat shalat, aku niat shalat, shalat ini dan shalat itu), kemudian dia ingin mengatakan, “Ada-an” (aku menunaikannya), kemudian dia keliru dalam pengucapan huruf daal, dengan mengucapkan (dzaa), “Adza-an lillaah” (sehingga artinya menjadi: Mengganggu Allah), maka orang yang disampingnya memutuskan shalatnya dan berkata, “Wa lirasulihi, wa Malaaikatihi, wa jamaa‘atil mushallin,” (dan mengganggu Rasul-Nya, Malaikat-Nya dan para makmum.”)
Dia berkata, “Di antara mereka ada yang waswas dalam mengeluarkan huruf, sehingga dia mengulang-ulangnya berkali-kali. ”
Dia (Abul Wafa’) berkata: Aku melihat diantara mereka ada yang mengatakan, “Allaahu Akkkbar.” Dia juga berkata, “Salah seorang dari mereka mengatakan kepadaku, ‘Aku tidak bisa mengucapkan Assalaamu ‘alaikum’, maka aku katakan kepadanya, “Nah sekarang engkau telah mengucapkannya, dan engkau telah lega kini.”
Syaitan benar-benar telah menyiksa mereka di dunia dan di akhirat dan mengeluarkan mereka dari ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang ghuluw dan berlebih-lebihan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“…Sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” [Al-Kahfi/18: 104]
Maka barangsiapa yang ingin terbebas dari musibah ini, hendaklah dia merasa bahwa kebenaran adalah dengan cara berittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkataan dan perbuatannya, dan berazam untuk menapaki jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tekad yang dia tidak ragu lagi bahwa dirinya telah berada di atas jalan yang lurus, dan bahwa cara/jalan yang menyelisihinya adalah tipu daya iblis dan waswasnya/godaannya, dan dia harus yakin bahwa iblis adalah musuhnya, tidak akan mengajaknya kepada kebaikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“…Karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni Neraka yang me-nyala-nyala.” [Faathir/35: 6]
Hendaklah dia tinggalkan menetapi segala yang menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa pun hal itu, dan hendaknya dia tidak ragu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada di atas jalan yang lurus. Barangsiapa yang ragu akan hal ini, maka dia bukanlah seorang muslim. Barangsiapa yang sudah mengetahui hal ini, maka ke mana lagikah ia akan berpaling dari Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jalan yang mana lagikah yang diinginkan oleh seorang hamba selain jalannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dan dia hendaknya mengatakan pada jiwanya, “Bukankah engkau mengetahui bahwa jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jalan yang lurus?” Bila jiwanya mengatakan, “Ya.” Lalu hendaknya ia mengatakan kepadanya, “Apakah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan perbuatan seperti ini?” Maka jiwanya akan mengatakan, “Tidak.” Maka katakanlah kepada jiwamu, “Hal apalagikah selain kebenaran, melainkan kesesatan? Jalan apalagikah setelah jalan ke Surga melainkan jalan ke Neraka? Jalan apalagikah setelah jalan Allah dan Rasul-Nya kalau bukan jalan syaitan?” Bila engkau mengikuti jalan syaitan maka engkau telah menjadi temannya, dan kelak engkau akan berkata:
يَا لَيْتَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ بُعْدَ الْمَشْرِقَيْنِ فَبِئْسَ الْقَرِينُ
“…Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara timur dan barat, maka syaitan itu adalah sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia).” [Az-Zukhruf/43: 38]
Hendaklah dia melihat kondisi para Salaf dalam mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ambillah contoh dari mereka, pilihlah jalan mereka!
Suatu hari Zainal ‘Abidin berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, ambilkan untukku sepotong kain untuk kupergunakan ketika buang hajat, sesungguhnya aku melihat lalat hinggap pada sesuatu (kotoran) kemudian mengenai pakaian(ku), kemudian awasilah!” maka anaknya berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tidak mengenakan melainkan satu potong pakaian, maka (Zainal ‘Abidin) meninggalkannya (tidak jadi meminta kain yang lain).
Pada suatu hari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menginginkan sesuatu dan bermaksud melakukannya, namun bila kemudian dikatakan kepadanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka dia tidak meneruskannya, sehingga dia mengatakan, “Sungguh aku telah berkeinginan untuk melarang mengenakan pakaian ini, sebab sampai kepadaku berita, pakaian ini dicelup dengan air kencing binatang,” kemudian Ubay mengatakan, “Engkau tidak bisa melarangnya, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memakainya, dan telah dipakaikan pula kepadaku pada masanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya Allah mengetahui bahwa memakainya adalah haram, pasti Dia telah menjelaskannya kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ‘Umar berkata, “Engkau benar.”
Kemudian hendaknya diketahui bahwa pada Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada orang yang waswas, bila waswas adalah sebuah keutamaan, tentu Allah tidak akan menyembunyikannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sahabatnya, sementara mereka adalah sebaik-baik makhluk. Dan bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpai orang-orang yang waswas pasti beliau akan murka terhadap mereka, kalau seandainya ‘Umar Radhiyallahu anhu yang mendapatkannya, niscaya dia akan memukul dan memberikan pelajaran kepada mereka, bila para Sahabat yang menemukannya niscaya mereka akan membid’ahkan orang-orang yang waswas itu. Di sini akan saya bawakan penjelasan yang detail yang menyelisihi madzhab mereka, atas kemudahan dari Allah Ta‘aala.
[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi’, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H – Februari 2005 M]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/43864-orang-yang-waswas-dan-ketaatan-terhadap-syaitan-2.html